Friday, January 12, 2007

Penyakit Hati

ada 2 macam penyakit hati:
1. bodoh, ini menyebabkan penderitanya tidak tahu mana halal mana haram. dan mana yang subhat. obatnya dengan ilmu.
2. syahwat, menyebabkan penderitanya cenderung mengikuti hawa nafsunya. obatnya dengan iman dan hidayah.

Memasarkan Islam

memasarkan islam

islam jalan hidup. diturunkan untuk menuntun manusia agar selamat dunia akhirat. dengan jalan menyerahkan diri secara total kepada Allah swt. Islam menyeru manusia ke jalan kebenaran. jalan yang dikehendaki Allah swt. Oleh karena itu seruan Islam adalah seruan kebenaran. Ia mengajak manusia ke jalan yang benar.
Islam adalah jalan kebenaran itu sendiri. sebagai jalan kebenaran seharusnya ia di sampaikan apa adanya. Ia adalah jalan. bukan tujuan

lalu bagaimana jika islam kemudian di jadikan tujuan? sebagaimana yang terjadi sekarang. memasuki abad modern, ketika sains di dunia barat tampil sebagai alternatif dari agama kristen, muncul satu pemikiran dari para ilmuwan bahwa agama tidak relevan lagi. sains muncul sebagai tandingan agama.

lalu para agamawan kemudian berfikir bagaimana agar agama tetap diterima oleh masyarakat. bagaimana agar agama tetap laku? disinilah asal mula agama di jadikan sebagai satu tujuan penyebaran agama. agama yang seharusnya jalan, kini berubah menjadi tujuan. maka seruan-seruan dalam menyebarkan agama seringkali menjadi bertolak belakang dengan apa yang jadi seruan agama itu sendiri. kemudian muncullah pembaharuan agama. bagaimana agar agama bisa menyesuaikan dengan selera masyarakat.

fenomena ini yang kemudian juga di anut oleh beberapa pemikir kaum muslimin. belajar dari pengalaman barat, mereka kemudian berkesimpulan bahwa Islam sebagai agama juga harus diperbaharui agar bisa diterima oleh masyarakat.

Seruan Islam yang seharusnya mengajak manusia ke jalan kebenaran, oleh mereka kemudian di ubah. bukannya menyerukan kebenaran sebagai mana yang islam inginkan, mereka menyerukan agar manusia memeluk islam dengan cara memanis-maniskan islam menurut selera masyarakatnya. wallahu a'lam

Wednesday, November 29, 2006

MEMAHAMI PERJUANGAN
Oleh : Miftahul Huda

Bunga yang manakah yang akan kita persembahkan kepada perjuangan, kekasih kita? Edelwis yang kita petik dari puncak cintakah? Mawar yang kita petik dari pohonnya yang kita tanam di pekarangan rumah hati kitakah? Atau melati yang kita petik dari taman hati kita?
Lalu kapankah akan kita berikan bunga itu kepadanya? Akankah engkau berikan bunga itu, saat dia sendirian menikmati surya pagi hari? Atau saat engkau menemaninya pada suatu purnama?
Kopi yang manakah yang akan kita suguhkan, saat kekasihmu itu memasuki malam-malam sejarahnya? Susu manakah yang akan kita seduhkan, ketika dia mulai memasuki pagi sejarah? Atau minuman pelepas dahaga yang manakah yang akan kita berikan saat dia sampai di siang sejarah yang panas?
Obat apakah yang akan kita berikan, saat ia dia sampai di takdir sakitnya? Dengan apakah akan kita basuh lukanya? Lantas bagaimanakah kita menghiburnya, saat kesedihan bersemayam di dadanya?
Disinilah titik paling rumit ketika kita mencintainya. Bagaimana kita memberikan sesuatu yang kita punya, yang juga dibutuhkannya, pada saat yang tepat. Mungkin dia membutuhkan semua yang kita punya. Tapi memberikan pada saat yang tidak tepat, hanya akan berbuah ketidak optimalan bahkan kesia-siaan.
Karena alasan inilah sesungguhnya, kita harus sampai pada komponen paling penting ketika kita mencitainya. Yaitu memahami perjuangan. Kita bisa memberikan sesuatu tepat pada waktunya, adalah jika kita memahaminya. Menghargai atau menghormati perjuangan tidak mungkin bisa tanpa mengenalnya. Perhatian dan tanggung jawab akan menjadi buta jika tidak dituntun oleh pemahaman atau pengetahuan.
Kita bisa memahami perjuangan, pemahaman yang sampai pada inti persoalan, jika kita dapat melampaui perhatian atas diri kita sendiri, untuk kemudian melihat perjuangan dalam konteksnya sendiri. Sebagai contoh, kita mungkin dapat mengetahui jika seseorang sedang marah meski dia berusaha untuk menyembunyikan kemarahan itu. Namun kita sesungguhnya bisa mengetahui lebih dari itu, mengetahui bahwa sesungguhnya orang tersebut sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan, atau bahwa orang tersebut sedang dihinggapi kesepian dan rasa bersalah.
Kita akan bisa memahami perjuangan, kalau kita mengenalnya. Kita tidak akan mengenal perjuangan, kecuali senantiasa membersamai setiap perjalanannya. Mengawal dengan penuh kesetiaan saat perjuangan itu memasuki malam-malam sejarah yang kelam. Menemani dengan penuh kasih saat perjuangan memasuki pagi hari sejarahnya. Merawat dengan kesabaran yang ekstra ketika perjuangan penuh luka. Juga ikut bersama dengannya ketika dia memasuki siang sejarah yang sungguh panas.
Hanya dengan itu kita bisa mengenal dan memahaminya. Dan dari sinilah kita akan sampai di puncak cinta; menyatu dengan perjuangan, kekasih kita.
Jadi tidak ada jalan lain bagi kita, selain senantiasa membersamai perjuangan. Sebab bagaimana pun juga, suatu hari, kita mesti memberinya bunga.


Yogyakarta, 15 Juni 2004

Cinta dan Cita-Cita

CINTA DAN CITA-CITA

Ba’da tahmid wa shalawat

Mungkin kita tak akan pernah tahu, kapan perjuangan ini akan berakhir. Kapan sesuatu yang kita impikan akan menjadi kenyataan, hadir dihadapan kita, lalu kita nikmati bersama. Atau mungkin kita memang tidak akan pernah sampai pada muara perjuangan. Sebab bisa jadi hidup adalah perjuangan, perjuangan adalah hidup. Jika ini yang terjadi, berarti kita tidak akan pernah beristirahat dari perjuangan. Sebab berhenti dari perjuangan berarti berhenti hidup. Dengan demikian, maka perjuangan yang kita tempuh ini tak akan pernah selesai.
Jadi, inilah sesungguhnya tantangan terberat kita. Mengawal perjuangan yang tak pernah usai. Berat, karena kita adalah makhluk yang senantiasa dihinggapi rasa lelah dan bosan. Berat, karena kita adalah makhluk yang senantiasa menginginkan suatu hasil yang nyata dari setiap apa yang kita lakukan.
Karena alasan inilah, kita memerlukan kekuatan cinta. Cinta kepada perjuangan. Cinta bagaimana pun adalah sumber kekuatan yang sangat dahsyat. Orang yang di dalam hatinya telah bersemayam cinta akan perjuangan, maka dia akan melakukan apa pun untuk senantiasa dekat dengan perjuangan. Sebab kenikmatan terbesar para pecinta adalah ketika dia bisa berdekatan dengan sesuatu yang dia cintai. Orang yang didalamnya hatinya telah bersemayam cinta akan perjuangan, tak akan pernah rela untuk berpisah dengan perjuangan.
Kekuatan inilah yang akan senantiasa mendorong kita untuk tetap berada dalam pesta perjuangan. Sebab cinta adalah ketulusan. Ia tak membutuhkan pamrih atas segalanya. Perjuangan juga tak akan pernah menjanjikan balasan bagi para pengawalnya. Kecuali kepuasan, senantiasa bersama dengannya.
Tetapi kita tak bisa hanya mengandalkan cinta. Sedahsyat apa pun kekuatan cinta, ia bisa juga sirna. Menguap dan tak berbekas. Cinta akan hilang jika sesuatu yang menyebabkan tumbuhnya cinta juga hilang. Begitu juga cinta akan perjuangan. Ia bisa sirna jika ternyata “pesta perjuangan” tak lagi memiliki yang menyebabkan tumbuhnya cinta.
Perjuangan bukanlah sesuatu yang indah. Ia adalah sesuatu yang melelahkan. Menegangkan urat syaraf. Dan kadang-kadang menghamparkan kengerian. Begitu banyak hal yang bersemayam dalam perjuangan, yang itu bisa dengan segera menghilangkan perasaan cinta kita terhadapnya.
Itulah sebabnya seorang pejuang tak bisa hanya mengandalkan cinta. Ia harus memiliki kekuatan kedua. Cita-cita. Harapan. Inilah kekuatan terakhir dari para pejuang.
Cita-cita atau harapan itu harus diletakkan di paling ujung dari pesta perjuangan. Ia haruslah sesuatu yang paling dibutuhkan oleh para pejuang dan haruslah sesuatu yang hanya bisa diraih ketika sudah tidak ada sesuatu pun yang bisa di ambil. Juga cinta.
Dengan kekuatan ini, maka sedahsyat apa pun tantangan perjuangan maka akan dilalui dengan tabah, sabar. Bahkan dengan perasaan gembira. Kengerian-kengerian yang dihamparkan dalam pesta perjuangan, akan dipandang dengan mesra dan penuh keikhlasan. Bahkan ketika cinta akan perjuangan itu sirna, ia satu-satunya hal yang akan menyebabkan kita bertahan.
Memiliki satu dari dua kekuatan itu, berarti kita baru menghimpun setengah kekuatan yang diperlukan untuk mengawal perjuangan. Menghimpun keduanya sekaligus, berarti kita telah melipat gandakan daya juang kita. Cinta kadang-kadang hilang, dan kita butuh cita-cita untuk tetap bertahan, sambil menunggu cinta kita mekar. Cita-cita kadang layu, dan kita butuh cinta untuk menyiram dan membuatnya kembali segar.
Bukankah kata Einstein, E = mc². Energi = mahabah (cinta) x cita-cita. Berarti Energi berbanding lurus dengan cinta dan cita-cita yang dikuadratkan.

Perjuangan hendaknya dijalani dengan cinta dan cita-cita.
Mencintai perjuangan dengan sepenuh jiwa dan cita-cita.
Ibaratnya kita hendaknya “menulis” di buku perjuangan ini dengan
Cinta dan Cita-Cita kita.

Tuesday, November 07, 2006

sense of crisis

sense of crisis

mengambil langkah yang cepat dan tepat dalam waktu yang singkat, karena kondisi yang tak terduga.

Monday, November 06, 2006

jebakan romantisme

jebakan romantisme
oleh: miftahul huda

romantisme adalah suatu sikap untuk mengagungkan sejarah masa lalu. bahwa yang ideal itu adalah sebagaimana yang ada di masa lalu. selanjutnya berimplikasi pada sikap menjadikan masa lalu sebagai kriteria kesuksesan di masa kini bahkan di masa datang.

ada sebagian dari aktivis dakwah kita, yang memiliki romantisme seperti ini. mereka menjadikan apa-apa yang sudah dirumuskan, dipikirkan, dan yang diwujudkan oleh generasi pertama dakwah sebagai ukuran serba ideal bagi apa yang seharusnya dilakukan di masa kini dan masa datang. ukuran yang dimaksudkan di sini adalah semuanya, baik struktur dakwah, maupun kulturnya.

dakwah adalah kerja antar generasi, yang sifatnya terorganisir, berkelanjutan dan sambung-menyambung menuju satu kesempurnaan tujuan yang telah ditetapkan. dakwah bukanlah kerja yang sifatnya pengulangan dari generasi ke generasi.

karena dakwah adalah kerja yang berkelanjutan dan sambung menyambung, dari generasi ke generasi, maka generasi dakwah di fase berikutnya tidaklah mengulang apa yang telah difikirkan, dilakukan dan diwujudkan oleh generasi sebelumnya. generasi penerus dakwah haruslah melanjutkan apa yang sudah difikirkan, dilakukan dan dilanjutkan oleh generasi sebelumnya.

karena itu generasi penerus dakwah, tidak menjadikan masa lalu sebagai ukuran serba ideal bagi kesuksesan kerja mereka. generasi penerus dakwah akan menjadikan masa lalu sebagai pijakan langkah. sebagai satu titik ordinat, di mana mereka akan memulai langkahnya.

sejarah tetap penting bagi generasi dakwah. sebab satu generasi yang melupakan sejarah, sebagaimana kata bung karno, akan menjadi bayi selamanya. sejarah bukanlah ukuran serba ideal, tapi sumber inspirasi. adalah peta, yang menunjukkan posisi mereka dalam perjalanan dakwah, dan menunjukkan jalan mana yang harus ditempuh.

masa lalu, dijadikan sebagai suluh, sehingga generasi dakwah ini bisa menyelesaikan tugasnya, melakukan penyempurnaan kerja dakwah. semampu-mampu nya.

karena itu generasi dakwah tak boleh terjebak pada romantisme sejarah. generasi dakwah harus membuat sejarah di masa depan, bukan mengagungkan sejarah masa lalunya.

Friday, October 20, 2006

INTI PERBAIKAN
:miftahul huda

Setiap kita adalah rimba bagi orang lain. Kecuali diri kita sendiri dan Allah tentunya, tak seorang pun akan mampu untuk mengetahui seluk beluknya,. Rimba yang banyak menyimpan misteri bagi orang lain. Siapa pun dia. Sedekat apa pun dia terhadap kita.
Setiap kita adalah rimba bagi orang lain. Hanya diri kita yang mengetahui ada berapa jenis hewan yang bersemayam dalam belantara kita. Hanya diri kita yang mengetahui ada berapa taman bunga yang sangat menawan yang tersembunyi dalam lebatnya belantara kita. Hanya kita yang tahu pasti ada berapa ekor macan, berapa ular berbisa, berapa anjing yang suka menyalak yang menempati sudut-sudut gelap rimba belantara kita. Berapa ekor kupu-kupu yang senantiasa menghiasi hari-hari kita. Berapa ekor merpati yang senantiasa menghiasi langit di atas belantara kita. Sedang orang lain hanyalah mampu melihat sedikit saja.
Kita ibarat belantara. Seperti hutan yang penuh dengan aneka flora dan fauna. Orang hanya mampu mengetuhui apa yang tampak dan kita nampakkan. Seperti rimba yang dipandangi oleh seseorang dari jarak yang sangat jauh. Orang hanya mampu melihat bahwa kita adalah hutan yang hijau. Orang hanya mampu melihat bahwa kita adalah hutan yang gundul. Orang lain tak akan pernah mampu untuk mengetahui secara detail apa yang sesungguhnya ada di dalam belantara kita.
Karena hanya kitalah yang tahu siapa sesungguhnya siapa diri kita, maka sesungguhnya inti perbaikan itu ada pada diri kita sendiri. Orang lain tak akan pernah tahu seberapa besar bibit kesombongan yang ada pada diri kita. Orang lain tak akan pernah tahu seberapa banyak benih keangkuhan yang telah tersebar dalam jiwa kita. Mereka hanya tahu apa yang tampak dan yang kita nampakkan. Padahal apa yang nampak dan kita nampakkan sering kali adalah semu. Tidak nyata.
Karena itu inti perbaikan itu ada pada diri kita. Kalau toh ada orang lain yang ingin membantu memperbaiki kita dengan nasehat-nasehatnya, sesungguhnya mereka akan berhadapan dengan inti perbaikan dalam diri kita. Jika inti perbaikan dalam diri kita itu tidak berfungsi dengan baik maka segala nasehat itu menjadi sesuatu yang sia-sia. Tak akan pernah sampai pada yang diharapkan.
Inti perbaikan dalam diri kita terdiri dari tiga hal. Pertama adalah kesanggupan untuk senantiasa berdialog dengan nurani kita. Berdialog tentang wujud kita sesungguhnya. Berdialog untuk senantiasa mencari bibit-bibit kesombongan, bibit keangkuhan dan berbagai bibit-bibit penyakit lain yang mungkin bersemayam dalam diri kita. Berdialog dengan nurani kita untuk mencari tahu seberapa besar kadar segala bibit penyakit itu telah tercampur dalam jiwa kita. Yang orang lain tak akan mengetahuinya, kecuali yang tampak dan yang kita nampakkan.
Kedua adalah kejujuran atas nurani kita. Hasil berdialog nurani kita mungkin telah menemukan dan menentukan kadar kesombongan dalam diri kita. Tapi penemuan itu tidak akan bermakna ketika kita gagal untuk jujur mengakui bahwa penemuan itu adalah benar. Sebab hanya dengan kejujuran itu kita menjadi sadar bahwa hal itu memang ada.
Terakhir dari inti perbaikan adalah kesadaran yang timbul dari dalam diri untuk senantiasa melakukan perbaikan. Kesanggupan untuk berdialog dengan nurani dan kejujuran untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki dalam diri kita akan kehilangan maknanya ketika ternyata dalam jiwa kita tidak ada kesadaran untuk senantiasa melakan perbaikan. Kesadaran untuk senantiasa meningkatkan mutu kehidupan pribadi kita. Kesadaran untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan kita.
Orang yang telah memiliki 3 hal ini, akan senantiasa mencari nasehat. Tidak lagi menunggu dinasehati. Dia tidak akan pernah menunggu sampai ada orang yang memarahinya dengan sebenar-benarnya kemarahan. Apalagi sampai di diamkan, diacuhkan, diabaikan keberadaannya. Bukankah kemarahan hanya layak di berikan pada orang yang bebal dan keras kepala ??!! Wallahu a’lam bishowab.

8 Mei 2003
(Masjid Shalahuddin, Medan Pertempuran Para Pendekar)

Kesanggupan Untuk Memberi
Oleh : Miftahul Huda

Tidak semua orang yang senantiasa bersama perjuangan itu mencintai perjuangan. Tidak semua orang yang menghabiskan sebagian besar atau bahkan seluruh hidupnya di jalan perjuangan itu mencintai perjuangan. Tidak semua orang yang menjadikan perjuangan sebagai jalan hidup itu mencintai perjuangan.

Perjuangan akan senantiasa di kawal orang-orang yang mencintai perjuangan dan orang-orang yang akan memanfaatkan perjuangan. Kita akan sulit membedakan antara keduanya. Sebab, keduanya, dalam keadaan yang normal senantiasa menampakkan fenomena yang sama. Orang yang mencintai perjuangan menghabiskan seluruh hidupnya untuk perjuangan. Begitu pula orang-orang yang memanfaatkan perjuangan.

Jika orang-orang yang mencintai perjuangan, senantiasa memikirkan perjuangan, begitu juga orang-orang yang memanfaatkan perjuangan. Orang-orang yang mencintai perjuangan akan senantiasa bersedih ketika perjuangan tidak sesuai dengan yang diharapkan, begitu juga orang-orang yang memanfaatkan perjuangan.

Perbedaan antara keduanya tipis sekali. Dan sedikit orang yang mampu memahami perbedaan ini. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada kesanggupannya untuk memberi kepada perjuangan.

Jika engkau orang yang jeli, maka engkau akan melihat perbedaan ini. Orang yang mencintai tidak akan pernah secara sengaja mengambil, meski mereka senantiasa memberi. Engkau akan mendapati bahwa orang-orang yang mencintai perjuangan senantiasa memberi pada perjuangan, dan engkau tidak akan pernah mendapati mereka mengambil sesuatu dari perjuangan.

Orang yang mencintai akan memberikan dirinya, memberikan sesuatu yang paling berharga yang dia miliki –kehidupannya. Yang terpenting dalam hal ini bukan soal bahwa dia telah mengorbankan hidupnya demi perjuangan melainkan bahwa dia telah memberikan apa yang hidup dalam dirinya. Dia memberikan kegembiraannya, kepentingannya, pemahamannya, kejenakaannya, kesedihannya –semua ekspresi serta manifestasi yang ada dalam dirinya. Dengan tindakan tersebut, seorang yang mencintai perjuangan telah memperkaya perjuangan, meningkatkan perjuangan dengan peningkatan kualitas dirinya.

Dia tidak memberi untuk mendapatkan imbalan; memberi pada dirinya sudah menimbulkan kegembiraan luar biasa. Dalam tindakan memberi seseorang ibarat meniupkan secercah kehidupan dalam diri orang lain, yang kemudian kehidupan itu memancar kembali kepadanya.

Memberi kepada perjuangan bagi orang-orang yang mencintai perjuangan, lebih menggembirakan ketimbang menerima. Bukan karena hal tersebut merupakan sebentuk kerugian, tetapi karena dalam tindakan memberi terdapat ungkapan akan kehidupan.
Engkau tidak akan mendapati semua itu pada orang-orang yang memanfaatkan perjuangan. Bagi orang-orang yang memanfaatkan perjuangan, memberi adalah sebentuk kerugian. Memberi bagi mereka adalah mengorbankan sesuatu. Bahkan memberi bagi mereka adalah suatu aktivitas pemiskinan.

Jika engkau mendapati mereka memberi, engkau juga akan melihat mereka dengan sengaja juga mengambil. Mereka akan memberikan hartanya untuk perjuangan, sambil mengambil ketenaran. Mereka akan memberikan hidupnya untuk perjuangan, sambil mengambil kekuasaan. Dan lihatlah hasilnya. Engkau akan mendapati jika orang-orang yang memanfaatkan perjuangan itu mendapatkan kekuasaan, maka kekuasaan yang berada ditangannya berubah dingin dan mencekam. Menebar bencana dan melenyapkan cinta.

Dari sini engkau akan memahami, mengapa Abu Bakar dan Utsman senantiasa memberikan seluruh hartanya untuk perjuangan. Bahkan juga hidupnya. Mereka tak pernah mengambil apa pun dari perjuangan. Harta, ketenaran, bahkan kuasa. Kalau toh kemudian semua itu berbalik kembali ke mereka, karena orang-orang yang senantiasa meniupkan secercah kehidupan kepada perjuangan, kehidupan itu akan memancar kembali kepadanya. Dan lihatlah hasilnya. Cinta telah memekarkan perjuangan, kekasih mereka.

Yogyakarta, 28 Mei 2004

INTI KEADILAN
:Miftahul Huda

Dalam banyak hal setiap kita adalah hakim. Yang harus mengambil suatu keputusan terhadap berbagai hal. Bisa jadi kita harus mengambil keputusan atas suatu permasalahan yang terkait dengan diri kita atau permasalahan yang terkait dengan orang lain. Bisa jadi kita harus mengambil suatu keputusan untuk sebuah penyikapan terhadap suatu kondisi yang ada di hadapan kita.
Untuk menjadi seorang hakim yang adil syarat utama yang harus di miliki adalah keluasan ilmu tentang permasalahan yang hendak diputuskan. Orang yang ingin mengadili seorang pencuri tentunya harus menguasai hukum tentang pencurian. Orang yang ingin mengadili seorang penzina tentunya harus menguasai ilmu tentang perzinaan. Sebab dari orang-orang seperti itulah hukum bisa ditegakkan dengan benar.
Syarat kedua agar orang menjadi seorang hakim yang adil adalah memiliki keikhlasan. Segala yang dia lakukan hanyalah untuk mencari ridlo Allah semata. Hanya orang-orang yang memiliki keikhlasanlah yang mampu bertahan dari godaan-godaan duniawi yang sering kali datang menjelang.
Syarat ketiga yang harus di penuhi oleh seorang hakim ketika ia ingin mengambil keputusan yang adil adalah dia harus mengetahui alasan terjadinya suatu peristiwa. Dia harus mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang suatu peristiwa. Kelengkapan pengetahuan itu bisa didapat dari kelengkapan data atau keterangan dari saksi.
Jika kemudian pengambilan keputusan itu terkait dengan “kesalahan” seseorang maka seorang hakim harus mencari tahu apa motivasi dari sang pelaku “kesalahan” tersebut. Sebab bisa jadi seseorang itu melakukan kesalahan tetapi sebenarnya dia tidak sengaja. Atau dia melakukan suatu kesalahan itu karena faktor keterpaksaan.
Dalam konteks inilah, kata “mengapa” menempati peran yang sangat penting. Ia adalah kunci untuk membuka pintu bagi ruang yang selama ini tertutup. Yang kita tidak akan mengetahui apa yang ada di dalamnya kecuali kita mau memasukinya. “Mengapa” adalah penguak tabir yang mungkin selama ini tersembunyi. Yang kita tak mengetahui kecuali kita mau menguaknya.
Dengan “mengapa” inilah kita bertabayyun. Mencari tahu sebab mengapa saudara kita, orang-orang di sekitara kita (dalam pandangan kita) melakukan “kesalahan-kesalahan” . Dengan kata “mengapa” inilah kita mencoba untuk mengenali secara utuh “kesalahan” saudara kita, orang-orang disekitar kita. Setelah mendapat jawaban atas kata “mengapa” inilah kita baru layak untuk menentukan sikap. Membuat keputusan.
Tetapi kalau kita mau berfikir lebih jauh, kata “mengapa” bukan hanya mengacu pada mencari tahu “alasan” orang itu melakukan kesalahan. Kata “mengapa” sesungguhnya memiliki dimensi yang sangat luas.

****
Seseorang melakukan suatu tindakan itu sangat dipengaruhi oleh pola berfikirnya.
Pola berfikir sangat dipengaruhi oleh pemahaman. Pemahaman terbentuk karena ilmu pengetahuan yang terekam dalam otak. Ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh apa yang di tangkap oleh inderawi. Dan apa yang ditangkap oleh inderawi seorang manusia ??
Dan apa yang ditangkap oleh inderawi seorang manusia ?? Itu adalah sejarah hidupnya. Itu adalah buku bacaan yang di baca. Itu adalah lingkungan keluarga yang telah membentuknya. Itu adalah lingkungan masyarakat tempat ia tinggal. Itu adalah alam yang menjadi sahabat karibnya. Itu adalah perwujudan matahari yang hadir disetiap hari yang dilaluinya, yang bisa jadi berbeda dengan perwujudan matahari kita.
Disinilah “mengapa” akan menemukan maknanya yang lebih dalam. “Mengapa” membawa kita kepada pengetahuan yang lebih mendekati sempurna. Membawa kita ke pemahaman tentang kondisi batiniah saudara kita. Kondisi ruh saudara kita. Kondisi ideologi saudara kita. Kondisi psikologis saudara kita. Mengetahui kejiwaan saudara kita. Pengetahuan yang utuh-menyeluruh tentang saudara kita.
Bukankah ketika rasulullah ditanya tentang ibadah apa yang paling utama, maka beliau memberikan jawaban yang berbeda untuk setiap sahabat yang bertanya. Saya kira beranjak dari pengetahuan yang sempurna inilah, kenapa Rasulullah bisa memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama yang di ajukan oleh sahabat-sahabatnya.
Dengan pengetahuan yang lebih sempurna inilah maka kita akan sampai pengambilan keputusan yang berkeadilan. Keputusan yang –mungkin- tidak hanya menyelesaikan “kesalahan” saudara-saudara kita, tapi keputusan yang juga mampu menyelesaikan akar kesalahan. Sehingga perbaikan yang kemudian akan dimunculkan adalah perbaikan yang menyeluruh. Yang mendekati sempurna. Yang menyentuh akar kesalahan.
Dengan “mengapa” akan membawa kita mengambil sikap yang selain adil, juga arif dan bijaksana. Kalau pun pada akhirnya kita harus menjatuhkan hukuman atas “kesalahan” saudara kita, hukuman itu masih dilandasi rasa kasih sayang. Hukuman yang penuh cinta. Bukan hukuman yang dinodai dengan kebencian. Wallahu a’lam bishowab.

11 Mei 2003
(Masjid Shalahuddin, Bumi Para Pejuang)






















Mulai hari ini, El-Huda mulai mendunia